Thursday, 3 December 2009

Prita-Hospital Tycoon-Fungsi Yudikatif Negara

ISI EMAIL PRITA:

Jakarta - Jangan sampai kejadian saya ini akan menimpa ke nyawa manusia lainnya. Terutama anak-anak, lansia, dan bayi. Bila anda berobat berhati-hatilah dengan kemewahan rumah sakit (RS) dan title international karena semakin mewah RS dan semakin pintar dokter maka semakin sering uji coba pasien, penjualan obat, dan suntikan.

Saya tidak mengatakan semua RS international seperti ini tapi saya mengalami kejadian ini di RS Omni International. Tepatnya tanggal 7 Agustus 2008 jam 20.30 WIB. Saya dengan kondisi panas tinggi dan pusing kepala datang ke RS OMNI Internasional dengan percaya bahwa RS tersebut berstandard International, yang tentunya pasti mempunyai ahli kedokteran dan manajemen yang bagus.

Saya diminta ke UGD dan mulai diperiksa suhu badan saya dan hasilnya 39 derajat. Setelah itu dilakukan pemeriksaan darah dan hasilnya adalah thrombosit saya 27.000 dengan kondisi normalnya adalah 200.000. Saya diinformasikan dan ditangani oleh dr Indah (umum) dan dinyatakan saya wajib rawat inap. dr I melakukan pemeriksaan lab ulang dengan sample darah saya yang sama dan hasilnya dinyatakan masih sama yaitu thrombosit 27.000.
dr I menanyakan dokter specialist mana yang akan saya gunakan. Tapi, saya meminta referensi darinya karena saya sama sekali buta dengan RS ini. Lalu referensi dr I adalah dr H. dr H memeriksa kondisi saya dan saya menanyakan saya sakit apa dan dijelaskan bahwa ini sudah positif demam berdarah.

Mulai malam itu saya diinfus dan diberi suntikan tanpa penjelasan atau izin pasien atau keluarga pasien suntikan tersebut untuk apa. Keesokan pagi, dr H visit saya dan menginformasikan bahwa ada revisi hasil lab semalam. Bukan 27.000 tapi 181.000 (hasil lab bisa dilakukan revisi?). Saya kaget tapi dr H terus memberikan instruksi ke suster perawat supaya diberikan berbagai macam suntikan yang saya tidak tahu dan tanpa izin pasien atau keluarga pasien.
Saya tanya kembali jadi saya sakit apa sebenarnya dan tetap masih sama dengan jawaban semalam bahwa saya kena demam berdarah. Saya sangat khawatir karena di rumah saya memiliki 2 anak yang masih batita. Jadi saya lebih memilih berpikir positif tentang RS dan dokter ini supaya saya cepat sembuh dan saya percaya saya ditangani oleh dokter profesional standard Internatonal.

Mulai Jumat terebut saya diberikan berbagai macam suntikan yang setiap suntik tidak ada keterangan apa pun dari suster perawat, dan setiap saya meminta keterangan tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan. Lebih terkesan suster hanya menjalankan perintah dokter dan pasien harus menerimanya. Satu boks lemari pasien penuh dengan infus dan suntikan disertai banyak ampul.

Tangan kiri saya mulai membengkak. Saya minta dihentikan infus dan suntikan dan minta ketemu dengan dr H. Namun, dokter tidak datang sampai saya dipindahkan ke ruangan. Lama kelamaan suhu badan saya makin naik kembali ke 39 derajat dan datang dokter pengganti yang saya juga tidak tahu dokter apa. Setelah dicek dokter tersebut hanya mengatakan akan menunggu dr H saja.

Esoknya dr H datang sore hari dengan hanya menjelaskan ke suster untuk memberikan obat berupa suntikan lagi. Saya tanyakan ke dokter tersebut saya sakit apa sebenarnya dan dijelaskan saya kena virus udara. Saya tanyakan berarti bukan kena demam berdarah. Tapi, dr H tetap menjelaskan bahwa demam berdarah tetap virus udara. Saya dipasangkan kembali infus sebelah kanan dan kembali diberikan suntikan yang sakit sekali. Malamnya saya diberikan suntikan 2 ampul sekaligus dan saya terserang sesak napas selama 15 menit dan diberikan oxygen. Dokter jaga datang namun hanya berkata menunggu dr H saja.

Jadi malam itu saya masih dalam kondisi infus. Padahal tangan kanan saya pun mengalami pembengkakan seperti tangan kiri saya. Saya minta dengan paksa untuk diberhentikan infusnya dan menolak dilakukan suntikan dan obat-obatan.

Esoknya saya dan keluarga menuntut dr H untuk ketemu dengan kami. Namun, janji selalu diulur-ulur dan baru datang malam hari. Suami dan kakak-kakak saya menuntut penjelasan dr H mengenai sakit saya, suntikan, hasil lab awal yang 27.000 menjadi revisi 181.000 dan serangan sesak napas yang dalam riwayat hidup saya belum pernah terjadi.  Kondisi saya makin parah dengan membengkaknya leher kiri dan mata kiri.

dr H tidak memberikan penjelasan dengan memuaskan. Dokter tersebut malah mulai memberikan instruksi ke suster untuk diberikan obat-obatan kembali dan menyuruh tidak digunakan infus kembali. Kami berdebat mengenai kondisi saya dan meminta dr H bertanggung jawab mengenai ini dari hasil lab yang pertama yang seharusnya saya bisa rawat jalan saja. dr H menyalahkan bagian lab dan tidak bisa memberikan keterangan yang memuaskan.

Keesokannya kondisi saya makin parah dengan leher kanan saya juga mulai membengkak dan panas kembali menjadi 39 derajat. Namun, saya tetap tidak mau dirawat di RS ini lagi dan mau pindah ke RS lain. Tapi, saya membutuhkan data medis yang lengkap dan lagi-lagi saya dipermainkan dengan diberikan data medis yang fiktif.

Dalam catatan medis diberikan keterangan bahwa bab (buang air besar) saya lancar padahal itu kesulitan saya semenjak dirawat di RS ini tapi tidak ada follow up-nya sama sekali. Lalu hasil lab yang diberikan adalah hasil thrombosit saya yang 181.000 bukan 27.000. Saya ngotot untuk diberikan data medis hasil lab 27.000 namun sangat dikagetkan bahwa hasil lab 27.000 tersebut tidak dicetak dan yang tercetak adalah 181.000. Kepala lab saat itu adalah dr M dan setelah saya komplain dan marah-marah dokter tersebut mengatakan bahwa catatan hasil lab 27.000 tersebut ada di Manajemen Omni. Maka saya desak untuk bertemu langsung dengan Manajemen yang memegang hasil lab tersebut.

Saya mengajukan komplain tertulis ke Manajemen Omni dan diterima oleh Og(Customer Service Coordinator) dan saya minta tanda terima. Dalam tanda terima tersebut hanya ditulis saran bukan komplain. Saya benar-benar dipermainkan oleh Manajemen Omni dengan staff Og yang tidak ada service-nya sama sekali ke customer melainkan seperti mencemooh tindakan saya meminta tanda terima pengajuan komplain tertulis.

Dalam kondisi sakit saya dan suami saya ketemu dengan Manajemen. Atas nama Og (Customer Service Coordinator) dan dr G (Customer Service Manager) dan diminta memberikan keterangan kembali mengenai kejadian yang terjadi dengan saya. Saya benar-benar habis kesabaran dan saya hanya meminta surat pernyataan dari lab RS ini mengenai hasil lab awal saya adalah 27.000 bukan 181.000. Makanya saya diwajibkan masuk ke RS ini padahal dengan kondisi thrombosit 181.000 saya masih bisa rawat jalan.

Tanggapan dr G yang katanya adalah penanggung jawab masalah komplain saya ini tidak profesional sama sekali. Tidak menanggapi komplain dengan baik. Dia mengelak bahwa lab telah memberikan hasil lab 27.000 sesuai dr M informasikan ke saya. Saya minta duduk bareng antara lab, Manajemen, dan dr H. Namun, tidak bisa dilakukan dengan alasan akan dirundingkan ke atas (Manajemen) dan berjanji akan memberikan surat tersebut jam 4 sore.
Setelah itu saya ke RS lain dan masuk ke perawatan dalam kondisi saya dimasukkan dalam ruangan isolasi karena virus saya ini menular. Menurut analisa ini adalah sakitnya anak-anak yaitu sakit gondongan namun sudah parah karena sudah membengkak. Kalau kena orang dewasa laki-laki bisa terjadi impoten dan perempuan ke pankreas dan kista.

Saya lemas mendengarnya dan benar-benar marah dengan RS Omni yang telah membohongi saya dengan analisa sakit demam berdarah dan sudah diberikan suntikan macam-macam dengan dosis tinggi sehingga mengalami sesak napas.  Saya tanyakan mengenai suntikan tersebut ke RS yang baru ini dan memang saya tidak kuat dengan suntikan dosis tinggi sehingga terjadi sesak napas.

Suami saya datang kembali ke RS Omni menagih surat hasil lab 27.000 tersebut namun malah dihadapkan ke perundingan yang tidak jelas dan meminta diberikan waktu besok pagi datang langsung ke rumah saya. Keesokan paginya saya tunggu kabar orang rumah sampai jam 12 siang belum ada orang yang datang dari Omni memberikan surat tersebut. Saya telepon dr G sebagai penanggung jawab kompain dan diberikan keterangan bahwa kurirnya baru mau jalan ke rumah saya. Namun, sampai jam 4 sore saya tunggu dan ternyata belum ada juga yang datang ke rumah saya. Kembali saya telepon dr G dan dia mengatakan bahwa sudah dikirim dan ada tanda terima atas nama Rukiah.

Ini benar-benar kebohongan RS yang keterlaluan sekali. Di rumah saya tidak ada nama Rukiah. Saya minta disebutkan alamat jelas saya dan mencari datanya sulit sekali dan membutuhkan waktu yang lama. LOgkanya dalam tanda terima tentunya ada alamat jelas surat tertujunya ke mana kan? Makanya saya sebut Manajemen Omni pembohon besar semua. Hati-hati dengan permainan mereka yang mempermainkan nyawa orang.

Terutama dr G dan Og, tidak ada sopan santun dan etika mengenai pelayanan customer, tidak sesuai dengan standard international yang RS ini cantum. Saya bilang ke dr G, akan datang ke Omni untuk mengambil surat tersebut dan ketika suami saya datang ke Omni hanya dititipkan ke resepsionis saja dan pas dibaca isi suratnya sungguh membuat sakit hati kami. Pihak manajemen hanya menyebutkan mohon maaf atas ketidaknyamanan kami dan tidak disebutkan mengenai kesalahan lab awal yang menyebutkan 27.000 dan dilakukan revisi 181.000 dan diberikan suntikan yang mengakibatkan kondisi kesehatan makin memburuk dari sebelum masuk ke RS Omni. Kenapa saya dan suami saya ngotot dengan surat tersebut? Karena saya ingin tahu bahwa sebenarnya hasil lab 27.000 itu benar ada atau fiktif saja supaya RS Omni mendapatkan pasien rawat inap.

Dan setelah beberapa kali kami ditipu dengan janji maka sebenarnya adalah hasil lab saya 27.000 adalah fiktif dan yang sebenarnya saya tidak perlu rawat inap dan tidak perlu ada suntikan dan sesak napas dan kesehatan saya tidak makin parah karena bisa langsung tertangani dengan baik. Saya dirugikan secara kesehatan. Mungkin dikarenakan biaya RS ini dengan asuransi makanya RS ini seenaknya mengambil limit asuransi saya semaksimal mungkin. Tapi, RS ini tidak memperdulikan efek dari keserakahan ini. Sdr Og menyarankan saya bertemu dengan direktur operasional RS Omni (dr B). Namun, saya dan suami saya sudah terlalu lelah mengikuti permainan kebohongan mereka dengan kondisi saya masih sakit dan dirawat di RS lain.

Syukur Alhamdulilah saya mulai membaik namun ada kondisi mata saya yang selaput atasnya robek dan terkena virus sehingga penglihatan saya tidak jelas dan apabila terkena sinar saya tidak tahan dan ini membutuhkan waktu yang cukup untuk menyembuhkan. Setiap kehidupan manusia pasti ada jalan hidup dan nasibnya masing-masing. Benar. Tapi, apabila nyawa manusia dipermainkan oleh sebuah RS yang dipercaya untuk menyembuhkan malah mempermainkan sungguh mengecewakan.

Semoga Allah memberikan hati nurani ke Manajemen dan dokter RS Omni supaya diingatkan kembali bahwa mereka juga punya keluarga, anak, orang tua yang tentunya suatu saat juga sakit dan membutuhkan medis. Mudah-mudahan tidak terjadi seperti yang saya alami di RS Omni ini. Saya sangat mengharapkan mudah-mudahan salah satu pembaca adalah karyawan atau dokter atau Manajemen RS Omni. Tolong sampaikan ke dr G, dr H, dr M, dan Og bahwa jangan sampai pekerjaan mulia kalian sia-sia hanya demi perusahaan Anda. Saya informasikan juga dr H praktek di RSCM juga. Saya tidak mengatakan RSCM buruk tapi lebih hati-hati dengan perawatan medis dari dokter ini.


Salam,
Prita Mulyasari
Alam Sutera
prita.mulyasari@yahoo.com Alamat e-mail ini diproteksi dari spambot, silahkan aktifkan Javascript untuk melihatnya
081513100600

==========================================================================

DASAR ASUMSI: Apa yang dikatakan Ibu Prita diatas adalah THE TRUTH; ONLY THE TRUTH AND NOTHING BUT THE TRUTH

Saya Mekar Wijaya; tidak melihat satu patah katapun yang mencemarkan nama baik, atau hal-hal yang dikatakan dan menjadi dasar tuntutan RS Omni kepada Prita.

Prita sakit gondongan, didiagnosa demam berdarah, disuntik berkali-kali tanpa keterangan dan tidak menampakkan tanda kesembuhan. Prita diinformasikan bahwa trombositnya 27.000 kemudian mencuat dari 27.000 menjadi 181.000. Prita menanyakan hasil Lab yang menyatakan trombositnya 27.000 tapi tidak ada. Berdasarkan apa dokter di RS Omni menginformasikan bahwa trombosit Prita 27.000?

Saya melihat di TVOne, pengacara RS Omni menekankan masalah perkataan Prita: disuntik berkali-kali tanpa keterangan. Hal itu kata sang pengacara adalah kesalahan, karena Prita dan keluarga telah menandatangani surat pernyataan. Saya ingin tahu isi surat pernyataan ini. Apakah di surat itu dinyatakan bahwa Prita setuju dan memberi kekuasaan penuh kepada RS Onmi untuk melakukan apa saja yang disukai seenak perut dokter di RS Omni. Kalau ada pernyataan itu berarti Prita tidak bisa berbuat apa-apa. Hal itu terus yang ditekankan. Masalah teknis tidak mau dibicarakan. Karena sudah dibahas di pengadilan katanya. Jadi kalau orang sudah tanda tangan surat pernyataan, mau dibunuh pun boleh-boleh saja. Mau teknisnya gimana tidak penting. Kan sudah tanda tangan?

Masalah-masalah teknis yang harus dibuka contohnya seperti:

Terjadi kesalahan diagnosis yang menurut saya tidak bisa diterima nalar. Badan Prita panas. Panas bisa diakibatkan oleh beribu juta hal. Tapi RS Omni dengan berdasar pada Trombosit 27.000 langsung menyatakan Prita demam berdarah. Saya copy dari Wikipedia, gejala-gejala Demam Berdarah:

Penyakit ini ditunjukkan melalui munculnya demam secara tiba-tiba, disertai sakit kepala berat, sakit pada sendi dan otot (myalgia dan arthralgia) dan ruam; ruam demam berdarah mempunyai ciri-ciri merah terang, petekial dan biasanya mucul dulu pada bagian bawah badan - pada beberapa pasien, ia menyebar hingga menyelimuti hampir seluruh tubuh. Selain itu, radang perut bisa juga muncul dengan kombinasi sakit di perut, rasa mual, muntah-muntah atau diare, pilek ringan disertai batuk-batuk. Kondisi waspada ini perlu disikapi dengan pengetahuan yang luas oleh penderita maupun keluarga yang harus segera konsultasi ke Dokter apabila pasien/penderita mengalami demam tinggi 3 hari berturut-turut. Banyak penderita atau keluarga penderita mengalami kondisi fatal karena menganggap ringan gejala-gejala tersebut.

Demam berdarah walaupun juga disebabkan karena virus, memiliki karakter yang spesifik. Gejala yang ditimbulkannya pun berbeda. Jadi harus ada 2 atau 3 variabel yang terpenuhi untuk menyimpulkan penyakit demam berdarah. Bukan hanya 1 variabel yang kemudian ternyata tidak ada dokumen dasarnya. Setelah beberapa kali disuntik, dan tidak sembuh, diagnosa penyakit berubah menjadi terkena virus udara. Sebenarnya diagnosa ini sudah mendekati. Penyakit demam berdarah meski disebabkan oleh Virus, tapi penularannya melalui nyamuk. Sedangkan penyakit gondongan yang dialami Prita bisa menular melalui udara.

Leher Prita bengkak. Bukankah ini sudah jelas pembengkakan kelenjar? Pada saat itu sebenarnya jangan dikatakan demam berdarah lagi atau virus udara. Ini sudah kekonyolan.

Prita mengalami sesak napas setelah disuntik dan diinfus. Apa penyebab sesak napas yang belum atau tidak pernah dialami Prita sebelumnya? Saya curiga jantung Prita tidak kuat dengan suntikan dan infus yang diberikan RS Omni padanya. Jika hal ini terjadi, berarti pada saat itu nyawa Prita sudah dalam bahaya. Apa yang disuntikan dan diinfuskan ke Prita? Ini penting untuk mengetahui dan membuktikan teknis penanganan pasien di RS Omni, mumpung orang yang diberi suntikkan dan infus sekarang masih hidup.

Cukup dulu untuk masalah teknis.

Kasus ini juga merupakan kasus yang bisa dijadikan contoh kinerja fungsi yudikatif negara ini. Pada saat proses delik pidana belum selesai diputuskan, sudah keluar putusan perdata yang menetapkan Prita diharuskan membayar 204 juta rupiah. Jumlah ini sebenarnya kecil jika dibandingkan dengan apa yang diambil oleh Keluarga Tantular dan kawan-kawan India nya. Tetapi bukan besar kecilnya yang jadi masalah. Kata pengacara Prita, keluarnya putusan perdata pada saat pengadilan pidana belum selesai merupakan keanehan. Bagaimana kalau di peradilan Pidana tidak terbukti atau dengan kata lain Prita memenangkan kasus pidananya; putusan perdatanya dasarnya apa?

Hubungan Prita dengan RS Omni adalah hubungan yang diatur dalam UU Perlindungan Konsumen. Ada dasar hukum yang lebih khusus mengatur hubungan ini. Kenapa yang dipakai hukum pidana saja? Pengadilan sama sekali tidak mengindahkan UU Perlindungan Konsumen pada kasus Prita. Ini kata pengacara Prita. UU Informasi dan Transaksi Elektronik juga mengatur hal ini tapi saya masih meragukan pasal yang dikenakan kepada Prita.

Belum lagi kalau kita mengingat bagaimana proses penangkapan Prita ini. Dia ditangkap oleh siapa, dibawa kemana, dikurung dimana, berapa lama sampai akhirnya dibebaskan atas instruksi presiden. Penangkapan ini mungkin dilakukan bukan karena bukti yang sah dan meyakinkan, bukan karena opini publik, tapi karena uang.

Email yang ditulis dan dikirimkan oleh Prita merupakan fakta yang terjadi, yang dialami sendiri oleh penulisnya. Bukan analisa, dugaan, asumsi, khayalan, kebohongan atau pikiran Prita sendiri. Lepas dari benar atau salah, saya tidak melihat adanya niat Prita untuk mencemarkan nama baik, fitnah, pembunuhan karakter, dan lain sebagainya. Kesulitannya disini adalah Prita tidak bisa menunjukkan bukti thrombosit 27.000, bekas suntikan yang mungkin sudah hilang, dan obat-obatan yang dia terima selama di RS Omni. Semua dipegang oleh RS Omni. RS Omni bisa membantah mengatakan bahwa thrombosit Prita 27.000.

Ini harus diperbaiki di Rumah Sakit di Indonesia. Hasil diagnosa adalah suatu hal yang sangat krusial dalam penanganan pasien. Harus ada bukti tertulis yang menyatakan bahwa dokter berdasarkan gejala yang timbul (disebutkan semua), hasil laboratorium dilampirkan, ditandatangani pasien dan dokter yang bertanggung jawab, menyimpulkan dan mendiagnosa bahwa pasien mengalami gangguan atau penyakit tertentu. Dibuat rangkap dua, memiliki kekuatan hukum yang sama.

Adalah suatu yang amat sangat wajar bila Prita mengingatkan kepada teman-teman dekatnya untuk berhati-hati jika memilih rumah sakit. Hanya berhati-hati. Tidak ada kata-kata bahwa RS Omni itu jelek atau mengatakan dokter ini dan dokter itu secara spesifik. Prita tidak melakukan jumpa pers seperti yang dilakukan oleh LSM Bendera. Dia hanya mengirim Email ke beberapa temannya. Apakah ini bisa disebut menyebarluaskan berita? Kalau memang terjadi salah diagnosa, salah obat, salah penanganan dan salah kaprah RS Omni, salah Prita dimana?

Kasus ini sangat penting karena menyangkut banyak hal. Prita merupakan gunung es dari orang-orang yang dirugikan oleh Rumah Sakit-Rumah Sakit di Indonesia. Mungkin banyak orang yang mengalami apa yang dialami Prita tapi tidak menjadi berita. Kalau Prita sampai kalah di pengadilan, maka akibatnya nanti akan banyak orang yang meninggal di Rumah Sakit di Indonesia tanpa sebab yang jelas.

Kedua, orang menjadi takut bila menulis di internet atau email atau blog seperti ini. Kita memang harus hati-hati tapi tidak boleh takut. Orang menjadi takut karena kebenaran tidak bisa menang di Indonesia ini. Kenapa? Karena Fungsi yudikatif negara ini sudah penyok dimana-mana. Tapi kita juga harus tahu betul kasusnya. Tulisan ini saya susun berdasarkan asumsi bahwa tulisan Prita benar. Jangan sampai ada orang yang benar-benar busuk kemudian dihukum di pengadilan dengan benar, kemudian mencari simpati memanfaatkan simpat masyarakat dan kepenyokan fungsi Yudikatif negara ini. Tapi Prita ini orang polos, ingin mencurahkan isi hatinya dan tidak bermaksud buruk pada siapa-siapa.

Prita tidak boleh meminta maaf, atau membuat kesepakatan diluar pengadilan. Tapi Prita boleh memaafkan. TIDAK BOLEH MEMINTA MAAF. Prita harus menghadapi semua ini melalui cara non-kompromi. Kalau Prita tidak mampu membayar putusan perdata, itu bisa diganti dengan hukuman kurungan. Masuk penjara lebih baik daripada meminta maaf. Menulis Email merupakan hak setiap manusia. Menulis email merupakan cara berkomunikasi. Email merupakan surat pribadi yang walaupun dikirimkan ke sejuta orang sekalipun tetap statusnya pribadi. Email Prita tidak melanggar UU ITE. Apakah Prita dapat dikenai pasal 27 ayat 3?

Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

Saya tidak menemukan penjelasan atas kata-kata “membuat dapat diaksesnya Informasi Eletronik…” Dapat diakses oleh siapa? Penjelasan pasal 27 mengatakan “Cukup Jelas”. Tapi saya kurang jelas. Kalau Prita mengirim email ke alamat email tertentu, maka tidak semua orang dapat membuka email itu.

Kalau misalnya terjadi kasus, ada seorang istri yang sah mengirim email ke suaminya yang sah pula. Sang istri mengeluhkan kondom merek “Nikmat Sejahtera” buatan PT Kondominium Indonesia, membuatnya tidak nyaman dalam berhubungan intim. Email itu dikirim ke alamat email suaminya sebagai salah satu bentuk komunikasi dengan suaminya. Sang Istri mungkin juga mengirim Email itu kepada adik perempuannya yang baru saja menikah. Adik perempuan ini mengirimkan lagi ke dua orang sepupunya yang sangat akrab dengannya. Apakah kemudian PT Kondominium Indonesia bisa mengatakan bahwa apa yang dilakukan sang Istri adalah pencemaran nama baiknya? Kalau berdasarkan UU ini PT Kondominium Indonesia bisa mengatakan bahwa email sang istri mencemarkan nama baiknya, berarti UU ini tidak ada manfaatnya diberlakukan. Terlalu konyol.

Aneh RS Omni ini. Penuntutan terhadap Prita akan membuat masa depan RS Omni sendiri menjadi suram. Sikap yang ditunjukan sama sekali tidak profesional. Ada rumah sakit lain yang bisa menyembuhkan Prita dan RS Omni tetap ngotot menuntut Prita. Harusnya dokter-dokter RS Omni disekolahkan dulu atau diberikan kursus singkat di Rumah Sakit yang bisa menyembuhkan Prita sehingga tahu kesalahannya dimana.

Semoga hak rakyat Indonesia untuk mendapatkan pelayanan kesehatan bisa terwujud. Semoga kasus Prita bisa menjadi pelajaran untuk kita semua.

No comments:

Post a Comment