I. PENDAHULUAN
Ada apa dengan negeri kita ini? 17 Agustus 1945 negeri ini merdeka. Semangat untuk bersatu membela dan mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia mendidih dan berkibar-kibar di segenap hati warga bangsa. Waktu berlalu dan proses berjalan. Tulisan sejarah mengalir di lembaran kehidupan bangsa ini. Orde Lama berganti dengan Orde Baru. Orde Lama jelek, kata Orde Baru. Orde Baru membangun bangsa. Gedung berdiri, pabrik berdiri, rakyat makmur orang kaya semakin banyak. Di tangan Orde Baru sepertinya semua berjalan baik. Isu KKN muncul. Demonstrasi dimana-mana. Kerusuhan terjadi. Muncul kata baru “reformasi”. Muncul masa reformasi. Reformasi reformasi reformasi. Apa yang direformasi? Tidak ada. Pemimpin dan cara-cara pemerintahan ganti sedikit-sedikit. Nepotisme melekat pada diri pribadi pemimpin orde baru waktu itu. Kolusi mencakup lingkup yang lebih luas. Korupsi merupakan masalah nasional. Pada saat pemimipin berganti, mungkin nepotisme bisa hilang tapi korupsi dan kolusi tidak. Korupsi dan kolusi tidak bisa hilang dari negeri tercinta kita ini. Meskipun pemimpinnya berganti, Presiden dipilih secara langsung, pejabat-pejabat berganti, sistem otoriter diganti dengan sistem demokrasi, tapi korupsi dan kolusi tidak berganti. Tetapi korupsi dan kolusi sekarang ini sudah ikut bereformasi menjadi lebih demokratis, jadi lebih merata dan adil.
Kenapa korupsi dan kolusi begitu sulit dihilangkan? Korupsi dan kolusi di Indonesia merupakan suatu sistem dan prosedur yang sudah sangat matang dan diketahui secara baik oleh orang-orang yang menjalankannya. Bahkan orang yang masih baru dan masuk ke sebuah instansi pemerintah, yang dia pelajari adalah sistem korupsi dulu. Sampai-sampai orang akan mengira bahwa sistem dan prosedur ini yang benar, atau tahu kalau salah tapi dianggap wajar atau diistilahkan memang begitu dari “dulu”. Ini sebenarnya adalah sikap dan watak Orang Indonesia Pada Umumnya. Watak ini tidak hanya ada di pemerintahan tapi juga di sektor swasta. Meski universitas-universitas mengadakan mata kuliah Sistem Administrasi Negara, namun dalam prakteknya ilmu ini sudah termodifikasi dan berkembang menjadi Sistem Korupsi Negara. Sistem korupsi ini juga melibatkan begitu banyak orang di segala lini dan lapisan. Orang sudah tidak tahu lagi mana benar mana salah jika sudah masuk dalam suatu instansi yang sudah kacau balau. Keadaan ini bisa disimpulkan terjadi di semua instansi dan merata di seluruh wilayah Indonesia. Tidak hanya di Kejaksaan atau di Kepolisian saja. Tapi karena dua institusi ini merupakan ujung tombak penegakkan hukum, maka dua institusi ini yang dirusak lebih dulu.
Rusak dalam artian bahwa konsep dan pola pikir obyektifitas hukum sudah tidak lagi menjadi patokan dan dasar dalam penyelesaian sebuah perkara. Terutama perkara-perkara tertentu atau perkara yang “high profile”. Kerusakan dan kebobrokan dua institusi ini merupakan akibat dari pola pemerintahan Orde Baru yang memang menjadikan hukum sebagai fasilitas untuk mempertahankan kekuasaan. Hukum dijadikan alat untuk menyingkirkan lawan politik dan pembenar dari segala yang dilakukan penguasa. Apa yang menurut penguasa benar menjadi benar sesalah apapun itu, dan apa yang salah menurut penguasa menjadi salah sebenar apapun itu. Kepolisian dan Kejaksaan sudah terdidik dan biasa dengan modifikasi dan re-kreasi prosedur. Polisi bisa merekayasa Berita Acara Pemeriksaan seperti yang sekarang terjadi di Sumatera Utara, yang dilakukan oleh Brigadir Kepala MSP Simanungkalit yang terbukti memalsukan BAP Victor Simamora (Jurnal Nasional, Sabtu 21 November 2009, halaman 12). Ini berkat pelatihan dan bimbingan dari pendahulunya sehingga ia bisa melakukan hal itu. Semua bisa diatur sesuai dengan keinginan penguasa. Hal ini amat sangat merusak fungsi yudikatif bangsa ini.
Rusaknya sendi-sendi Yudikatif negeri ini dimanfaatkan oleh warga negara Indonesia di segala lapisan masyarakat. Kejahatan ada dimana-mana. Kejahatan terjadi bukan hanya karena niat pelakunya tapi juga karena ada kesempatan…. Waspadalah….Waspadalah.. Karena kejahatan ada dimana-mana, perkara dan kasuspun terjadi dimana-mana. Ini menjadi ajang untuk semua lapisan dan golongan “oknum” penegak hukum dimana-mana di negeri ini.
“Negara ini adalah negara yang berdasarkan atas Hukum”. Kata-kata ini terus diulang-ulang oleh guru-guru SD dari jaman Orde Baru sampai hari ini. Anak-anak SD ditanamkan dalam pikiran mereka bahwa negara ini adalah negara hukum. Kemarin, kata-kata ini diucapkan oleh Jaksa Agung. Semua orang dengan gagah perkasa mampu mengucapkan kata-kata ini dengan lidahnya. Namun apakah pada kenyataannya demikian? Apakah negara ini benar-benar berdasarkan atas hukum? Hukum yang bagaimana? Hukum yang berpihak kepada apa? Kepada uang. Kepada orang yang punya uang. Siapa bayar dia benar. Hukum benar-benar ditegakkan untuk orang yang melakukan kejahatan dan tidak punya apa-apa. Kasarnya; udah miskin jahat lagi, hukum saja seberat-beratnya. Seperti kasus Minah di Banyumas.
Perkara yang “diperdagangkan” ini menjadi ajang untuk mencari tambahan uang bagi para “oknum”; baik di kepolisian maupun kejaksaan. Polisi, Jaksa dan kemudian Hakim bisa diajak kerja sama. Tapi kalau hakim sedikit lebih berhati-hati, tergantung berat ringan kasusnya. Disini berperan yang dikenal dengan makelar kasus. Mereka orang yang bisa bernegosiasi atau menegosiasikan kasus dengan para aparat penegak hukum. Kalau semua sudah beres, putusannya kita sudah sama-sama tahu, pengadilan hanya formalitas saja. Hal ini sudah lumrah terjadi, sudah sejak dari dahulu kala terjadi dan semua orang sudah tahu. Tapi yang belum kita ketahui berapa jumlah “oknum” dan berapa jumlah “non-oknum” penegak hukum di negeri ini. Lebih banyak mana? Oknum atau non-oknum?
Harus diakui pula bahwa disamping kerusakan yang telah terjadi, Polisi masih punya berbagai prestasi. Semboyan “Melayani dan Melindungi” yang diterjemahkan dari “Serve and Protect”; semboyan polisi di Amerika; masih bisa disandang Pak Polisi. Di “bawah” sana, ada polisi-polisi yang pendapatannya tidak seberapa, tiap hari berpanas-panas, tiap hari bertaruh nyawa untuk menangkap maling, rampok, gali, preman, pengedar narkoba dan lain sebagainya. Ada pula Pak Polisi yang bertugas mengatur lalu lintas. Ada polisi yang berhasil menjinakkan bom dan meringkus teroris. Anak-anak TK masih banyak yang bercita-cita jadi polisi bila nanti sudah besar. Bangsa ini butuh Polisi. Polisi yang seperti apa? Disamping terbatasnya pendapatan dan kehidupan yang sempit, polisi dituntut untuk melakukan banyak hal. Ditambah pula dengan kondisi dan cara berpikir Orang Indonesia Pada Umumnya yang membuat pelanggaran hukum ini menjadi hal biasa yang bisa dinegosiasikan.
Kasus KPK-POLRI merupakan ekor dari kasus Bank Century. Tujuh triliun uang rakyat digelontorkan dengan mudahnya untuk menyelamatkan sebuah bank kelas menengah yang namanya tidak begitu akrab ditelinga. Dana itu dicairkan dalam hitungan hari. Seperti hujan turun tiba-tiba dari langit. Bagaimana dengan prosedurnya? Pesawat-pesawat TNI AU berjatuhan seperti layangan putus, Pemda DKI bikin comberan (Banjir Kanal Timur) saja butuh waktu bertahun-tahun karena keterbatasan dana, Pasca gempa di Sumatera masih butuh biaya, Lumpur Lapindo masih terus meninggi, PLN byar pet, ada banyak hal yang bisa dilakukan dengan uang sebanyak itu. Kita bisa bikin 10 menara Petronas, China sudah mendirikan pabrik mesin jet di Shanghai sebagai langkah awal memenuhi ambisinya untuk mengambil bagian dalam industri penerbangan dunia, Lapan masih butuh biaya untuk riset dan pengembangan, investasi energi alternatif baru taraf wacana belum ada tindakan konkret yang menjanjikan. Singapura, sebuah negara kecil, memiliki perusahaan investasi milik negara yang modalnya lebih besar dari APBN kita. Kenapa uang sebesar itu digelontorkan begitu saja hanya untuk sebuah bank yang kalau tutup pun tidak masalah. Berapa uang nasabah Bank Century yang dijamin pemerintah? Jumlah yang digelontorkan itu terlalu fantastis dan boombastis.
Sekali lagi saya bertanya Ada apa dengan negeri kita ini???
II. FUNGSI YUDIKATIF NEGARA VS KPK
Semua mata dan telinga sekarang tertuju pada proses hukum yang sedang dijalani oleh para ketua KPK, Pak Bibit dan Pak Chandra. Komisi Pemberantasan Korupsi ini memang merupakan lembaga negara yang relatif baru saja berdiri. Berdirinya KPK tadinya merupakan bentuk keseriusan pemerintahan Presiden Megawati Soekarno Putri dalam memberantas korupsi. KPK juga diberikan kewenangan luas untuk melakukan proses hukum mulai dari penyidikan sampai penuntutan. KPK memiliki kewenangan yang diemban oleh Kepolisian, dan Kejaksaan sekaligus. Putusan hukum pun berbeda dengan kasus lain, karena perkara yang ditangani KPK diputuskan oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Pengadilan TIPIKOR).
Pada awal berdirinya, KPK ini adem-adem saja. KPK baru menunjukkan taringnya ketika dipimpin oleh Antasari Azhar. Mulai dari bupati, lurah, camat, mantan gubernur, mantan menteri, anggota Dewan, mantan anggota Dewan, semua pejabat menjadi ngeri melihat sepak terjang KPK. Banyak uang negara sudah dapat di kembalikan oleh KPK. KPK membuat para pejabat mengatakan “Sekarang ada KPK” jika ingin coba-coba melakukan korupsi. Banyak orang yang sudah dihukum dan dipenjara oleh KPK dengan hukuman yang logis. KPK sebenarnya sudah mulai meletakkan dasar pemberantasan dan pemutusan rantai korupsi di Indonesia.
Namun sayang, begitu menyangkut kasus perbankan, KPK membentur tembok tebal. KPK sudah kena apesnya. Sebenarnya, cepat atau lambat KPK akan bernasib seperti ini. KPK mengancam Koordinasi Korupsi Nasional Indonesia. KPK mengancam penghidupan banyak orang. KPK membuat takut banyak orang. KPK berhadapan secara tidak langsung dengan para “Penguasa Kerajaan Surga Indonesia” (para konglomerat). KPK membuat suasana kerja instansi pemerintah dan kerja sama “negatif” pemerintah-swasta dalam program pembagian uang negara menjadi tidak indah lagi. KPK membuat sistem dan prosedur baku korupsi yang sudah bertahun-tahun dan dilakukan dengan baik dan matang menjadi suatu yang menakutkan. KPK melawan sebuah sistem dan prosedur baku yang berlaku nasional dan lebih matang dari pada KPK sendiri.
KPK hanya sebuah komisi yang diberi kewenangan khusus. Dalam menjalankan tugasnya KPK tetap dibantu penyidik-penyidik dari kepolisian dan kejaksaan. KPK belum memiliki institusi pendidikan sendiri seperti PTIK, STIN, atau bentuk sekolah kedinasan lainnya yang memungkinkan tersedianya sumber daya manusia yang betul-betul “orang KPK”. Timbul pertanyaan apakah KPK ini akan ada terus atau tidak. Bangsa ini masih amat sangat membutuhkan KPK dalam jangka waktu lama. Apabila memang fungsi yudikatif negara ini untuk memberantas korupsi sudah berjalan dengan baik, maka kita tidak butuh KPK lagi. Tetapi kapan hal itu bisa terjadi. KPK seumur jagung saja sudah terjadi hal seperti ini.
KPK harus dipertahankan dan dimaksimalkan fungsinya dalam 5 tahun kedepan. KPK harus terpisah dari fungsi yudikatif. Ketua dan anggota KPK harus diberi imunitas hukum dalam menjalankan tugasnya. Ketua dan anggota KPK digaji cukup, diberi fasilitas, dan diberlakukan hukuman mati jika benar-benar terbukti menyalahgunakan wewenang atau melakukan tindak pidana korupsi. Peradilan KPK juga harus khusus, seperti Mahkamah Militer. Ketua dan anggota KPK tidak bisa diseret oleh permainan polisi, jaksa dan hakim. Anggota KPK dilatih dan dididik seperti taruna TNI. Atau calon anggota KPK “dititipkan” sebentar di Akademi TNI. KPK dijadikan sebuah sistem baru yang mencakup segala yang berhubungan dengan pemberantasan korupsi di negara ini. Atau usaha pemberantasan korupsi dijadikan sebuah sistem seperti fungsi yudikatif dimana KPK berada di dalamnya. Jadi kita tidak lagi menganut Trias Politica tapi Catur Politica; fungsi yang keempat adalah Fungsi Pemberantasan Korupsi. Hal ini diperlukan untuk menyokong fungsi yudikatif yang belum berjalan dengan sebagaimana mestinya.
Pada kasus Bibit-Chandra ini, ada banyak keanehan terjadi. Penangkapan dan penahanan Bibit-Chandra sampai menjadi terdakwa polisi bertindak begitu yaq’in, cepat, mudah, lancar dan indah. Tapi Anggodo sampai hari ini masih menjadi saksi. Polisi belum menemukan cukup bukti untuk menjerat Anggodo. Untuk orang seperti Anggodo, polisi belum bisa menemukan cukup bukti; tapi untuk Bibit-Chandra, tidak perlu lama-lama polisi langsung menemukan bukti yang sah dan meyaq’inkan. Tapi sekarang Bibit-Chandra ditangguhkan penahanannya.
Dalam kasus Bibit-Chandra, kelihaian dan keahlian dua institusi untuk modifikasi dan re-kreasi prosedur dipertontonkan di hadapan khalayak ramai. Yang dinamakan sebagai “Kontra Intelejen” adalah membuat kebohongan dan pembenaran; yang bohong dibenarkan yang benar dibilang bohong. Ini merupakan cara lama yang sudah digunakan bertahun-tahun. Hanya bedanya, ada skenario yang rapi dan ada satu nyawa melayang; nyawa Nasrudin. Kalau Antasari Ashar tidak terbukti atau berdasarkan kesaksian mantan pejabat polisi bahwa ada kolusi untuk menjatuhkan Antasari Azhar, maka siapa yang membunuh Nasrudin dan untuk apa? Ada teori cinta segitiga yang membuat Antasari bermata gelap dan membunuh Nasrudin. Tadinya saya sudah mau percaya hal ini tapi ragu. Tapi begitu melihat sosok dan kualitas Rani, saya tidak jadi percaya. Kalo cuma seperti Rani begitu, di Tanah Abang, Blok M, Kebayoran Lama, Kebon Jeruk, Harmoni-Kota, Ciputat, Parung, Lenteng Agung dan Depok banyak tersedia; tidak perlu sampai membunuh. Antasari mantan pejabat tinggi Kejaksaan Agung. Sulit dipercaya kalau dia sampai membunuh karena perempuan seperti Rani. Justru Rani ini yang harus dimintai keterangan seputar terbunuhnya Nasrudin.
Tim 8 memberikan rekomendasi untuk menindak pejabat-pejabat yang terlibat dalam “proses hukum yang dipaksakan”. Proses hukum yang dipaksakan ini sudah diakui keberadaannya oleh Tim 8. Yang disebut sebagai skenario besar menjatuhkan KPK memang ada. Cara-cara yang digunakan dan disebut sebagai proses hukum yang dipaksakan itu menggunakan cara-cara lama yang belum diberi nama. Sekarang sudah ada namanya “proses hukum yang dipaksakan”. Nama yang bagus. Sebenarnya tidak usah orang-orang sekaliber Tim 8 yang bisa melihat adanya keanehan penanganan kasus ini. Seluruh rakyat bisa melihat. Tapi sepertinya institusi kepolisian sudah sangat percaya diri. Mungkin karena sudah bisa meringkus Nurdin M Top. Tapi ini kasus berbeda. Kasus ini adalah isu yang bisa menjatuhkan Soeharto yang bertahta 30 tahun di kursi kepresidenan. Jika isu ini terus digulirkan semakin besar dan tidak ditangani dengan baik, saya khawatir akan dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk mengancam pemerintahan.
Kisruh kasus KPK ini mulai dirasakan pada waktu KPK menyidik kasus Bank Century dan menyatakan bahwa kasus ini melibatkan beberapa petinggi POLRI. Tidak itu saja, kasus Century disebut-sebut melibatkan menteri dan pejabat setingkat menteri waktu itu. Bagaimana uang sebesar itu bisa dialirkan dengan mudahnya.
Dalam kasus ini kita bisa sama-sama saksikan betapa hebatnya bankir-bankir nakal dan konglomerat busuk Indonesia. Bankir-bankir nakal dan konglomerat busuk inilah yang sebenarnya menguasai Indonesia.
III. SKANDAL BANK CENTURY
Perbankan merupakan salah satu pilar perekonomian sebuah negara yang menganut sistem ekonomi Kapitalis atau ekonomi pasar bebas. Indonesia merupakan salah satu negara yang sebenarnya menerapkan sistem ekonomi ini. Namun demikian, Sistem ekonomi di Indonesia ini sebenarnya belum begitu jelas apa nama dan bentuknya. Disebut sebagai Ekonomi Pancasila tapi apakah yang kita lihat sekarang ini adalah hasil dari Ekonomi Pancasila? Betapa nistanya ekonomi Pancasila ini. Untung di Indonesia tidak diterapkan ekonomi Islam. Apabila diterapkan dan dijalankan oleh orang-orang yang sama, maka ekonomi Islam itu akan jadi nista juga.
Perbankan Indonesia mulai marak ketika pada era 80-an, pemerintah Orde Baru mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang mempermudah pendirian bank. Kebijakan tersebut dikenal dengan PAKTO (Paket Oktober 27 Oktober 1988), PAKTRI (Paket Februari), PAKDES (Paket Desember) dan lain sebagainya. Kebijakan ini membuat perbankan Indonesia booming. Semua orang yang punya uang bikin bank. Banyak orang yang mendadak menjadi bankir. Satpam yang rajin bisa masuk jadi officer di backoffice. Hampir semua konglomerat mendirikan bank. Banyak orang menjadi bankir secara tiba-tiba. Uang terkumpul di bank mereka. Mereka bingung betapa baiknya rakyat Indonesia ini mau menyimpan uang di bank mereka.
Era 90-an timbul masalah kredit macet. Bank-bank yang berdiri tiba-tiba memiliki piutang kepada pemiliknya dan pihak-pihak lain yang tidak dapat ditagih. Pemerintah kemudian menggelontorkan BLBI. Terjadi krisis ekonomi dan pergantian pemerintahan. Kemudian timbul MSAA (Master Settlement of Acquisition Agreement). Pada tahap ini, aset perusahaan penerima BLBI di nilai dan dijaminkan untuk diserahkan kepada negara untuk kemudian dijual oleh BPPN. Tambak udang bisa bernilai triliunan rupiah. Pabrik pengalengan bisa bermilyar-milyar. Kandang kambing, kolam ikan, kebun pisang, bisa bernilai ratusan miliar. Kemudian pada saat dijual, oleh BPPN nilainya turun drastis. Rakyat Indonesia menanggung dan membiayai kemewahan dan kebahagiaan hidup para konglomerat.
Kasus ini sampai hari ini sebenarnya belum selesai karena banyaknya uang yang menguap dan BPPN sudah dibubarkan. Pengalaman terdahulu menunjukkan bahwa Bank digunakan sebagai brankas nasional untuk membiayai perusahaan pemiliknya dan melancarkan kerja sama mereka dengan pemerintah. Uang yang hilang waktu itu tentu mengalir ke oknum-oknum pemerintahan yang waktu itu menjabat. Hari ini, bank tetap digunakan sebagai brankas tapi masyarakat belum tahu pasti untuk apa. Tapi yang pasti dana 6 triliun lebih sudah masuk ke bank Century. Kita menunggu audit BPK untuk mengetahui aliran dana ini.
Bankir di Indonesia bisa dengan mudah mengumpulkan uang dari masyarakat yang menjadi nasabahnya, memberikan promosi berbagai macam produk, iming-iming hasil investasi yang selangit, setelah semua terkumpul, uang itu dibawa lari (tentu saja setelah dibagi-bagi dengan “oknum” tertentu). Setelah itu, Bank Indonesia dengan Kebijaksanaan Yang Luar Biasa, memberikan uang penggantian supaya Bank itu tidak bankrut. Alasannya untuk mencegah efek domino dari runtuhnya bank tersebut. Saya agak kurang mengerti dengan efek domino yang diakibatkan ditutupnya bank Century atau jika tidak digelontorkannya uang triliunan rupiah itu. Efek domino apa? Apakah Bank seukuran Century sangat mempengaruhi keuangan negeri ini?
Permainan bank ini pun sebenarnya permainan lama yang sudah pernah dilakukan dimasa lampau. Sekarang ini dilakukan lagi dengan skala yang lebih kecil. Kasus Bank Century rupanya menyeret petinggi POLRI berinisial SD. Tetapi berkali-kali Ketua KPK berdoa dan memohon kepada Tuhan supaya hal ini tidak benar. Doa Ketua KPK ini bukan saja dipanjatkan kepada Allah SWT, tapi juga disampaikan kepada para wartawan. Kemudian timbul istilah “cicak dan buaya”. Berawal dari terbunuhnya Nasrudin, isu caddy Rani yang mengguncang negara, Ketua KPK ditahan, dan akhirnya dijadikan terdakwa. KPK diberangus dan kasus Bank Century dianggap beres.
Kenapa Bank Century harus repot-repot diselamatkan dengan 6,7 triliun? Berita di koran dan internet menyatakan bahwa pemilik dan pemegang saham mayoritas Bank Century Robert Tantular membuat banyak PT ilegal untuk mengalirkan dana nasabahnya ke sana. Sedikitnya Robert Tantular telah menggelapkan dana sebesar Rp 2.8 triliun dari Bank Century dan nasabah Antaboga. Termasuk didalamnya adalah pengelapan uang dengan kredit tanpa jaminan dan tanpa proposal senilai Rp 1,18 triliun. Selain itu menggelapkan dana nasabah Antaboga mencapai Rp 1,4 triliun. Inilah yang disebut sebagai tindakan kriminal, namun Menteri Keuangan Sri Mulyani maupun Mantan Gubernur BI Boediono ketika berpendapat bahwa Bank Century mengalami masalah secara sistemik, dan tidak pernah ‘menganggap’ bahwa kasus Bank Century adalah tindakan kriminal seperti yang dilontarkan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Hal ini oleh pihak-pihak tertentu dikaitkan dengan nasabah terbesar bank Century yang merupakan penyumbang terbesar dana kampanye partai dan pasangan Capres-Cawapres tertentu. Hati jadi sedih dan pilu mendengar berita ini dan benar-benar amat sangat mengecewakan kalau hal ini benar.
IV. SISTEM DAN PROSEDUR ANTI KORUPSI
Suatu sistem yang buruk harus dilawan dengan sistem juga. Suatu sistem yang melumpuhkan sistem buruk tersebut. Sistem ini harus mampu mendeteksi, mencegah, mengetahui dan atau kemudian membuktikan adanya tindak pidana korupsi. Sistem ini diisi oleh orang-orang yang betul-betul bersih, memilki konsep hidup yang baik, dan betul-betul fit & proper. Sistem ini terkait erat dengan dan memiliki fungsi pengawasan, pengendalian internal, intelejen, dan audit. Sebenarnya sudah ada fungsi pengawasan di setiap departemen. Fungsi ini diemban oleh Inspektorat Jenderal (Irjen). Tapi Irjen ini sama sekali tidak berfungsi. Korupsi tetap terjadi dimana-mana meskipun Irjen ada pula dimana-mana. Hal ini sebenarnya memboroskan uang negara. Apa yang dikerjakan Irjen ini? Apa sampai sekarang masih ada saya juga tidak tahu. Kalau saja Inspektorat Jenderal ini bisa diperbaiki dan di revitalisasi, maka akan sangat menghemat waktu, uang dan tenaga.
Sistem ini berlaku nasional, diterapkan di tiap departemen dan instansi di seluruh Indonesia, termasuk POLRI, Kejaksaan dan KPK sendiri. Sistem ini merupakan kesepakatan politik, kebijakan publik yang diperkuat dengan undang-undang. Sistem ini menjadi fungsi keempat setelah Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif. Kalau cuma dibentuk komisi-komisi atau badan-badan negara, saya pastikan umurnya pendek. Pasti habis dimakan buaya, komodo, kadal, bunglon dan tokek.
Rekomendasi Tim 8 yang terdiri dari 6 perkara;
- Menghentikan proses hukum Bibit dan Chandra
- Menjatuhkan sanksi kepada pejabat-pejabat yang bertanggung jawab dalam proses hukum yang dipaksakan
- Melanjutkan reformasi institusional dan reposisi personel pada tubuh kepolisian, kejaksanaan, KPK, dan LPSK
- Memprioritaskan operasi pemberantasan makelar kasus di semua lembaga penegak hukum, termasuk di lembaga peradilan dan profesi advokat
- Menuntaskan kasus Bank Century, serta kasus pengadaan SKRT Departement Kehutanan
- Membentuk komisi negara untuk pembenahan lembaga-lembaga hukum
untuk saat ini merupakan masukan yang sangat baik dan mendesak untuk dilakukan pemerintah. Pertama yang harus diselesaikan sebenarnya adalah kasus Bank Century dan SKRT Dept. Kehutanan dulu. Kedua, pengungkapan dan pemberantasan makelar kasus di semua lembaga penegak hukum. Kalau dua ini dituntaskan maka seharusnya tuntutan terhadap Bibit-Chandra akan batal demi hukum. Begitu pula pejabat-pejabat yang bertanggung jawab dalam proses hukum yang dipaksakan. Ini juga akan terungkap kalau kasus Bank Century dan makelar kasus dituntaskan. Jangan sampai kasus ini bergulir terus dan semakin besar. Sudah ada indikasi pengerahan masa di beberapa daerah di Indonesia terkait kasus ini. Jangan sampai terjadi ribut nasional.
V. MENGEMBALIKAN KEPERCAYAAN RAKYAT KEPADA FUNGSI YUDIKATIF NEGARA
Saat ini adalah saat yang sangat menentukan nasib rakyat dan bangsa ini kedepan. Saat ini adalah momentum dimana seorang pemimpin diuji kepemimpinannya. Momentum ini bisa merubah nasib bangsa ini ke depan menjadi lebih baik. Penegakkan hukum merupakan kunci stabilitas dan ketentraman masyarakat. Penegakan hukum merupakan konsekuensi berdirinya sebuah negara. Apabila hukum tidak ditegakkan maka Homo Homini Lupus akan berlaku. Manusia adalah serigala bagi manusia yang lain; dan yang kuat akan memakan yang lemah.
Islam mengajarkan bahwa keamanan dan ketentraman masyarakat dapat terjadi karena: 1) Ilmunya para ulama, dimana dalam hal ini ulama adalah orang yang paham akan suatu masalah tertentu. Tim 8 dan para ekonom dapat dianggap sebagai ulama. 2) Adilnya para pemimpin; 3) Jujurnya para pedagang (pelaku ekonomi). Tiga ini saja di Indonesia sudah berat sekali keadaannya. Para ahli sudah mengemukakan pendapatnya di media maupun yang dimintai pendapat secara langsung oleh Pemimpin negeri ini. Sekarang tinggal menunggu keputusan yang diambil oleh presiden.
Saat ini merupakan kesempatan untuk merombak sistem penegakkan hukum di Indonesia. Efek domino dari penegakkan hukum ini akan membuat bangsa ini bisa bertahan dalam putaran waktu. Kekayaan negara akan terlindungi, kepastian kehidupan berbangsa dan bernegara akan terjamin, dan kehidupan bangsa dan negara ini akan menjadi lebih efektif dan efisien. Sebuah tindakan dan keputusan yang bijaksana sangat diperlukan pada momen ini. Semoga pemerintahan sekarang menjadi pemerintahan yang tercatat dalam sejarah sebagai pemerintah yang telah melakukan terobosan dan perombakan dalam penegakkan hukum di Indonesia.
Semoga bangsa ini bisa melalui masalah ini dengan baik dan dimasa datang menjadi bangsa yang lebih baik. Semoga kita juga menjadi rakyat yang lebih baik supaya bisa menjadikan bangsa ini lebih baik. Jayalah terus Indonesia.
No comments:
Post a Comment